Cerita Lain di Balik Polemik Kedelai
Kedelai atau Glycine max (L) Merr. termasuk familia Leguminoceae, sub famili Papilionaceae, genus Glycine max, berasal dari jenis kedelai liar yang disebut Glycine unriensis.
Secara fisik setiap kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran dan
komposisi kimianya. Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting.
Komposisi gizi kedelai bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan
dan warna kulit maupun kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai
kuning bervariasi antara 31-48% sedangkan kandungan lemaknya bervariasi
antara 11-21%. Protein kedelai mengandung 18 asam amino, yaitu 9 jenis
asam amino esensial dan 9 jenis asam amino nonesensial. Asam amino
esensial meliputi sistin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenil
alanin, treonin, triptofan dan valin. Asam amino nonesensial meliputi
alanin, glisin, arginin, histidin, prolin, tirosin, asam aspartat dan
asam glutamat. Selain itu, protein kedelai sangat peka terhadap
perlakuan fisik dan kemis, misalnya pemanasan dan perubahan pH dapat
menyebabkan perubahan sifat fisik protein seperti kelarutan, viskositas
dan berat molekul. Perubahan-perubahan pada protein ini memberikan
peranan sangat penting pada pengolahan pangan.
Indonesia
merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar
kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia
diperoleh dalam bentuk tempe. Konsumsi tempe rata-rata pertahun di
Indonesia saat ini sekitar 6,45 kg/orang. Tempe banyak dikonsumsi di
Indonesia, bahkan sekarang telah mendunia. Kaum vegetarian banyak yang
mengonsumsi tempe sebagai pengganti daging.
Sebagai
sumber bahan pangan, tempe merupakan salah satu makanan pokok yang
dibutuhkan oleh tubuh. Tempe merupakan makanan yang terbuat dari kacang
kedelai yang difermentasi. Masyarakat luas menjadikan tempe sebagai
sumber protein nabati, selain itu harganya juga murah. Tempe berpotensi
untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses
penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degenerative
(aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan
lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab
diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi,
dan lain-lain.
Komposisi
gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak
berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan
karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh
dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat
baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga
lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur.
Dibandingkan
dengan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe.
Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan
terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai
cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna,
diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam
kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi
buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan
penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu
singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar
raffinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala
flatulensi (kembung perut).
Mutu
gizi tempe yang tinggi memungkinkan penambahan tempe untuk meningkatkan
mutu serealia dan umbi-umbian. Hidangan makanan sehari-hari yang
terdiri dari nasi, jagung, atau tiwul akan meningkat mutu gizinya bila
ditambah tempe. Sepotong tempe goreng (50 gram) sudah cukup untuk
meningkatkan mutu gizi 200 g nasi. Bahan makanan campuran beras-tempe,
jagung-tempe, gaplek-tempe, dalam perbandingan 7:3, sudah cukup baik
untuk diberikan kepada anak balita.
Berdasarkan
uraian tersebut bahwa diramalkan di Indonesia akan terjadi peningkatan
permasalahan gizi ketika produksi tempe terhenti akibat cost para
pengrajin tempe naik yang tiada lain karena harga kedelai yang
melambung dan pasokan kedelai untuk produksi berkurang. Bisa dibayangkan
berapa banyak penduduk yang mungkin akan mengalami kurang protein
karena ketidaksanggupan membeli daging dan keterbatasan sumber protein
nabati (tempe) dalam kesehariannya.
Tulisan ini pernah dimuat di http://berandainovasi.com/cerita-lain-di-balik-polemik-kedelai/
0 komentar