Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan, Mungkinkah?

by - 09.31



Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang besar (nomor 2 di dunia) namun amat disayangkan pemanfaatannya belum begitu optimal dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Terdapat 800 spesies tumbuhan pangan, ± 1000 spesies tumbuhan medisinal, dan ribuan spesies microalgae belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan masyarakat. Melihat tingginya konsumsi pangan Indonesia khususnya beras 102,82 kg /kapita/thn (Susenas 2011),  jauh bila dibandingkan dengan rata-rata dunia 60 kg/kapita/thn. Belum lagi tingginya data impor pangan yang secara langsung mempengaruhi kestabilan ketahanan pangan nasional. Angka impor susu  mencapai 80%, gula 30%, daging sapi 30%, beras 2 juta ton/tahun, gandum 5 juta ton/thn (Susenas 2011). Padahal jika ditelaah lebih lanjut potensi Indonesia sendiri amatlah besar dalam pemenuhan pangannya tanpa harus melakukan impor. Meski demikian, wacana “pangan sebagai hak asasi manusia” pada akhirnya hanya menjadi sebuah dialektika Faktanya hingga saat ini perihal ketahanan pangan nasional masih menjadi agenda besar pemerintah.

Hal lain, masih banyaknya didapati kasus kelaparan maupun malnutrisi di kalangan masyarakat khususnya pada skala ekonomi menengah ke bawah merupakan implikasi ketahanan pangan nasional yang masih rendah. Diduga terjadi karena konsepsi ketahanan pangan itu sendiri belum terwujud di negeri ini. Ironisnya, upaya mewujudkan ketahanan pangan ini seolah jalan di tempat, karena hanya segelintir orang yang benar-benar memerhatikannya.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat digunakan untuk mengukur secara langsung kualitas sumber daya dengan cara mengukur kecukupan pangan dan gizinya. Karena sifatnya yang dinamis, ketahanan pangan di suatu negara sangant dipengaruhi tidak hanya dari produksi dan sistemnya namun juga oleh kondisi sosial ekonomi yang terjadi di negara tersebut.

Konsep ketahanan pangan dapat dilihat dari segi individu dan nasional. Konsep ketahanan pangan di tingkat individu mengacu pada suatu keadaan yang dapat menjamin setiap individu dimanapun, kapanpun untuk memperoleh pangan agar dapat mempertahankan hidup sehat. Sedangkan konsep ketahanan pangan nasional berarti adanya jaminan kecukupan pangan dan gizi di tingkat nasional dari waktu ke waktu. Untuk menjamin ketahanan pangan nasional sampai tingkat, ketersediaan pangan dan keterjangkauan aksesnya oleh semua orang merupakan dua syarat penting. Ketidakseimbangan antara ketersediaan dan akses dapat menyebabkan ancaman ketahanan pangan (food insecurity). Bukti empiris menunjukkan bahwa rapuhnya ketahanan pangan nasional suatu negara dapat memicu timbulnya goncangan ekonomi dan meningkatnya kriminalitas (Suryana, 2001)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Perwujudan ketahanan pangan nasional dalam implementasinya haruslah secara berkelanjutan. Yang dimaksud dengan “berkelanjutan” adalah bahwa penyelenggaraan pangan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk masa kini dan masa depan.

Hal ikhwal dalam menyukseskan upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional ini  tentu saja akan menuntut sinergi peran dari banyak pihak (stake holder) Agar pengadaan pangan yang cukup, aman, bermutu, beragam, dan bergizi serta dapat mengentaskan masyarakat dari bahaya kelaparan dan malnutrisi dapat terwujud. Sinergi peran pemerintah, masyarakat umum, akademisi, bahkan pihak-pihak swasta amatlah diperlukan, tak terkecuali mahasiswa. Maka pertanyaan terpentingnya adalah, “Sebagai mahasiswa, apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan bangsa ini?”

Mahasiswa adalah kalangan yang dianggap sebagai kaum intelektual oleh masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang diambil mahasiswa untuk berkontribusi dalam membantu mengatasi permasalahan pangan bangsa ini tentunya harus berdasarkan keilmuan dan pemikiran yang logis. Mahasiswa dapat mengkritisi kebijakan pemerintah manakala sikap kritis itu dapat menjadi pertimbangan untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengkaji, “Apakah program raskin cukup dapat membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pangannya? Bagaimana mereka bisa mendapatkan bahan pangan pokok lainnya? Apakah kandungan raskin cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka sehingga peluang malnutrisi dapat diminimalkan? Kalau tidak, bagaimana seharusnya kebijakan yang dibuat?” Jawaban dari pertanyaan terakhir haruslah solutif.

Lebih dari sekadar mengkritisi kebijakan, mahasiswa harus lebih membuktikan dengan tindakan nyata, misalnya dengan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pangan dan gizi atau dengan turun langsung ke masyarakat dan berbagi ilmu dengan masyarakat melalui kegiatan pengembangan masyarakat (Community Development). Teori-teori keilmuan dan profesi yang dipelajari selama perkuliahan tentu saja tidak akan terlalu bermanfaat jika belum ditransformasi dalam tindakan-tindakan nyata membantu masyarakat. Aksi nyata mahasiswa seperti berbagi ilmu melalui pembinaan dan penyuluhan serta pelatihan kepada masyarakat di daerah-daerah rawan kelaparan dan malnutrisi untuk memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki agar menjadi bentuk pangan yang lebih bergizi dan memiliki nilai tambah. Hal ini dalam jangka pendek akan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup dan bergizi dalam skala kecil, yaitu skala masyarakat itu sendiri. Dalam jangka panjang, mahasiswa dapat membantu masyarakat membangun kemandirian usaha berbasis pangan lokal yang pada gilirannya juga dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Penulis yakiin, kegiatan-kegiatan mahasiswa semacam ini akan banyak mendapat dukungan, baik dari pihak universitas, pemerintah, maupun organisasi-organisasi swasta yang peduli pada kondisi pangan bangsa.

Jika hal ini dilakukan di banyak tempat, proyeksi berhasilnya program akan jauh lebih besar, namun sebelumnya diperlukan model pengembangan di beberapa tempat terlebih dahulu. Tidak hanya mahasiswa pangan dan gizi yang dapat melakukan hal ini, mahasiswa dengan basis bidang keilmuan lain pun dapat membantu asalkan mau sedikit mempelajari ilmunya. Tak akan terlalu rumit, hanya butuh niat yang lurus dan tekad yang utuh serta usaha yang konsisten dan benar-benar. Dengan demikian dalam waktu dekat bisa dipastikan bahwa Indonesia optimis akan mampu mewujudkana ketahanan pangan nasional  yang berkelanjutan.


Referensi:
Data Susenas 2011.
Suryana, A. 2007. Tantangan dan Kebijakan Pangan. Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, 29 Maret 2001.
Widya Karya Pangan dan Gizi 2012.

You May Also Like

0 komentar