• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook instagram youtube Email

Pauzi Nutritionist

"Better Nutrition For Better Life"



Ditinjau dari potensi sumberdaya wilayah, sumberdaya alam Indonesia memiliki potensi ketersediaan pangan yang beragam dari satu wilayah ke wilayah lainnya, baik sebagai sumber karbohidrat maupun protein, vitamin dan mineral, yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah dan biji berminyak. Potensi sumberdaya pangan tersebut belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal untuk dikembangkan menjadi industri kreatif, mengingat pangan adalah basis dasar penopang sumber energi manusia hingga mampu beraktifitas dan berproduksi. Sehingga pola konsumsi pangan rumah tangga masih didominasi pada beras dan keanekaragaman konsumsi pangan dan gizi yang sesuai dengan kaidah nutrisi yang seimbang, belum terwujud.

Memperhatikan kondisi dan peluang pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan harus diarahkan untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk baik jumlah, mutu dan keragaman sehingga dapat diwujudkan konsumsi pangan dan gizi yang seimbang, seiring mengurangi ketergantungan pada beras dan pangan impor. Kondisi tersebut dapat tercapai apabila pangan yang dibutuhkan dapat di produksi dan tersedia setiap saat dalam jumlah, mutu, ragam, yang cukup serta aman dan terjangkau oleh masyarakat baik secara ekonomis maupun fisik. Langkah nyata untuk mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan adalah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang sangat besar dalam menghasilkan pangan lokal di setiap wilayah melalui pengembangan industri kreatif.

Definisi industri kreatif dari Departemen Perdagangan RI adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sementara ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif. Nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa di era kreatif tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global dengan hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja, tetapi bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas dan imajinasi.

Penganekaragaman konsumsi pangan yang diikuti pengembangan produk melalui industri kreatif akan memberikan dorongan dan insentif kepada penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan aman untuk dikonsumsi termasuk produk pangan yang berbasis sumberdaya lokal. Pemilihan sumber pangan lokal sebagai cadangan pangan akan menimbulkan efek positif, seperti terhidupinya para petani dan tumbuhnya industri pangan lokal, seperti industri pengolahan pangan non beras yang berbasis lokal dan mengurangi ketergantungan pada produk pangan impor. Dengan memanfaatkan teknologi dan pengolahan yang tepat berbagai pangan lokal dapat dijadikan berbagai variasi makanan yang layak diunggulkan sebagai peluang pembentukan industri kreatif bidang makanan sekaligus mendukung program diversifikasi pangan.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam konferensi The 2nd World International Property Organization (WIPO) International Conference on Intellectual Property and The Creative Industries di Nusa Dua mengatakan, PDB Indonesia dari industri kreatif lebih kecil dibandingkan dengan negara maju seperti Inggris sebesar 7,9 persen dengan pertumbuhan per tahun 9 persen. Namun, kontribusi industri kreatif Indonesia terhadap PDB masih lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru sebesar 3,1 persen, dan Australia sebesar 3,3 persen.

Selama tahun 2002-2006 rata-rata industri kreatif di Indonesia mampu menyerap tenaga kerja 5,8 persen atau 5,4 juta pekerja. Nilai ekspor dari industri kreatif mencapai Rp 69,8 triliun atau 10,6 persen dari ekspor nasional. Menurut Mari, pada tahun 2009-2015, yang disebut tahap penguatan dasar dan fondasi, peningkatan kontribusi PDB dari industri kreatif ditargetkan sebesar 7-8 persen.

Sementara peningkatan kontribusi ekspor menjadi 11-12 persen dan penyerapan tenaga kerja 6-7 persen. Pada tahun 2016-2025, jumlah kantong industri kreatif akan menjadi dua kali lipat dari jumlah yang ada sampai tahun 2015. Dengan demikian peluang pengembangan industri kreatif berbasis pangan lokal dapat dijadikan basis yang cukup memiliki andil besar dalam sumbangsih peningkatan kesejahteraan penduduk umumnya dan masyarakat petani khususnya sehingga akan berimbas pada menurunnya angka kemiskinan penduduk.
           
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang besar (nomor 2 di dunia) namun amat disayangkan pemanfaatannya belum begitu optimal dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Terdapat 800 spesies tumbuhan pangan, ± 1000 spesies tumbuhan medisinal, dan ribuan spesies microalgae belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan masyarakat. Melihat tingginya konsumsi pangan Indonesia khususnya beras 102,82 kg /kapita/thn (Susenas 2011),  jauh bila dibandingkan dengan rata-rata dunia 60 kg/kapita/thn. Belum lagi tingginya data impor pangan yang secara langsung mempengaruhi kestabilan ketahanan pangan nasional. Angka impor susu  mencapai 80%, gula 30%, daging sapi 30%, beras 2 juta ton/tahun, gandum 5 juta ton/thn (Susenas 2011). Padahal jika ditelaah lebih lanjut potensi Indonesia sendiri amatlah besar dalam pemenuhan pangannya tanpa harus melakukan impor. Meski demikian, wacana “pangan sebagai hak asasi manusia” pada akhirnya hanya menjadi sebuah dialektika Faktanya hingga saat ini perihal ketahanan pangan nasional masih menjadi agenda besar pemerintah.

Hal lain, masih banyaknya didapati kasus kelaparan maupun malnutrisi di kalangan masyarakat khususnya pada skala ekonomi menengah ke bawah merupakan implikasi ketahanan pangan nasional yang masih rendah. Diduga terjadi karena konsepsi ketahanan pangan itu sendiri belum terwujud di negeri ini. Ironisnya, upaya mewujudkan ketahanan pangan ini seolah jalan di tempat, karena hanya segelintir orang yang benar-benar memerhatikannya.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat digunakan untuk mengukur secara langsung kualitas sumber daya dengan cara mengukur kecukupan pangan dan gizinya. Karena sifatnya yang dinamis, ketahanan pangan di suatu negara sangant dipengaruhi tidak hanya dari produksi dan sistemnya namun juga oleh kondisi sosial ekonomi yang terjadi di negara tersebut.

Konsep ketahanan pangan dapat dilihat dari segi individu dan nasional. Konsep ketahanan pangan di tingkat individu mengacu pada suatu keadaan yang dapat menjamin setiap individu dimanapun, kapanpun untuk memperoleh pangan agar dapat mempertahankan hidup sehat. Sedangkan konsep ketahanan pangan nasional berarti adanya jaminan kecukupan pangan dan gizi di tingkat nasional dari waktu ke waktu. Untuk menjamin ketahanan pangan nasional sampai tingkat, ketersediaan pangan dan keterjangkauan aksesnya oleh semua orang merupakan dua syarat penting. Ketidakseimbangan antara ketersediaan dan akses dapat menyebabkan ancaman ketahanan pangan (food insecurity). Bukti empiris menunjukkan bahwa rapuhnya ketahanan pangan nasional suatu negara dapat memicu timbulnya goncangan ekonomi dan meningkatnya kriminalitas (Suryana, 2001)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Perwujudan ketahanan pangan nasional dalam implementasinya haruslah secara berkelanjutan. Yang dimaksud dengan “berkelanjutan” adalah bahwa penyelenggaraan pangan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk masa kini dan masa depan.

Hal ikhwal dalam menyukseskan upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional ini  tentu saja akan menuntut sinergi peran dari banyak pihak (stake holder) Agar pengadaan pangan yang cukup, aman, bermutu, beragam, dan bergizi serta dapat mengentaskan masyarakat dari bahaya kelaparan dan malnutrisi dapat terwujud. Sinergi peran pemerintah, masyarakat umum, akademisi, bahkan pihak-pihak swasta amatlah diperlukan, tak terkecuali mahasiswa. Maka pertanyaan terpentingnya adalah, “Sebagai mahasiswa, apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan bangsa ini?”

Mahasiswa adalah kalangan yang dianggap sebagai kaum intelektual oleh masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang diambil mahasiswa untuk berkontribusi dalam membantu mengatasi permasalahan pangan bangsa ini tentunya harus berdasarkan keilmuan dan pemikiran yang logis. Mahasiswa dapat mengkritisi kebijakan pemerintah manakala sikap kritis itu dapat menjadi pertimbangan untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengkaji, “Apakah program raskin cukup dapat membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pangannya? Bagaimana mereka bisa mendapatkan bahan pangan pokok lainnya? Apakah kandungan raskin cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka sehingga peluang malnutrisi dapat diminimalkan? Kalau tidak, bagaimana seharusnya kebijakan yang dibuat?” Jawaban dari pertanyaan terakhir haruslah solutif.

Lebih dari sekadar mengkritisi kebijakan, mahasiswa harus lebih membuktikan dengan tindakan nyata, misalnya dengan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pangan dan gizi atau dengan turun langsung ke masyarakat dan berbagi ilmu dengan masyarakat melalui kegiatan pengembangan masyarakat (Community Development). Teori-teori keilmuan dan profesi yang dipelajari selama perkuliahan tentu saja tidak akan terlalu bermanfaat jika belum ditransformasi dalam tindakan-tindakan nyata membantu masyarakat. Aksi nyata mahasiswa seperti berbagi ilmu melalui pembinaan dan penyuluhan serta pelatihan kepada masyarakat di daerah-daerah rawan kelaparan dan malnutrisi untuk memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki agar menjadi bentuk pangan yang lebih bergizi dan memiliki nilai tambah. Hal ini dalam jangka pendek akan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup dan bergizi dalam skala kecil, yaitu skala masyarakat itu sendiri. Dalam jangka panjang, mahasiswa dapat membantu masyarakat membangun kemandirian usaha berbasis pangan lokal yang pada gilirannya juga dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Penulis yakiin, kegiatan-kegiatan mahasiswa semacam ini akan banyak mendapat dukungan, baik dari pihak universitas, pemerintah, maupun organisasi-organisasi swasta yang peduli pada kondisi pangan bangsa.

Jika hal ini dilakukan di banyak tempat, proyeksi berhasilnya program akan jauh lebih besar, namun sebelumnya diperlukan model pengembangan di beberapa tempat terlebih dahulu. Tidak hanya mahasiswa pangan dan gizi yang dapat melakukan hal ini, mahasiswa dengan basis bidang keilmuan lain pun dapat membantu asalkan mau sedikit mempelajari ilmunya. Tak akan terlalu rumit, hanya butuh niat yang lurus dan tekad yang utuh serta usaha yang konsisten dan benar-benar. Dengan demikian dalam waktu dekat bisa dipastikan bahwa Indonesia optimis akan mampu mewujudkana ketahanan pangan nasional  yang berkelanjutan.


Referensi:
Data Susenas 2011.
Suryana, A. 2007. Tantangan dan Kebijakan Pangan. Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, 29 Maret 2001.
Widya Karya Pangan dan Gizi 2012.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 34 provinsi yang tersebar dari sabang sampai merauke memiliki budaya yang beraneka ragam, begitu pun dengan makanan tradisional yang ada di dalamnya. Makanan tradisional dengan cita rasa khas menjadi indikator bagi setiap daerah di Indonesia. Dalam konsep ketahanan pangan, satu produk memiliki kontribusi penting dalam menjamin ketahanan pangan di setiap daerah. Sehingga dinilai sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Namun sangat disayangkan hingga detik ini, upaya pelestarian dan pemanfaatan optimal produk pangan lokal masih belum menjadi perhatian khusus pemerintah.
Konsep bio-eco culture berkaitan dengan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan harus dipahami dan diartikan dengan benar. Ketahanan pangan adalah kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai dengan preferensinya (FAO). Mandiri pangan dipahami  sebagai upaya pemenuhan kebutuhan yang dapat dicukupi oleh kemampuan sumberdaya yang dimiliki, dilihat dari bekerjanya subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Ketahanan pangan “melibatkan banyak pelaku dari berbagai aspek dan mencakup interaksi antar wilayah, sehingga memerlukan pendekatan sistem yang disebut sistem ketahanan pangan”.
Konsep bio-eco culture membutuhkan keberadaan lingkungan hidup yang mendukung terwujudnya tujuan akhir dari implementasi dan rekayasa pada konsep ini. Lingkungan hidup berperan penting dalam interaksi antar komponen (bio-geo sistem) yang mendukung perputaran fungsi hayati dalam ekosistem. Sehingga amat diperlukan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang menjadi basis pertahanan, meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Dalam pola untuk mempertahankan eksistensinya dituntut adanya pola adaptasi yang tinggi diantara seluruh aspek yang ada dalam lingkungan, sehingga konsep bio-eco culture dapat diterapkan dalam pemenuhan pangan dan gizi.
Kita hendaknya dapat belajar banyak dari Jepang dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai dan budaya yang eksistensinya mampu sejajar dengan modernisasi zaman. Jepang merupakan salah satu negara yang mampu mengantisipasi kemajuan zaman tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Hal ini tampak juga pada pengembangan produk-produk makanan tradisionalnya. Strategi pengembangan makanan tradisional yang terpadu secara erat baik oleh pihak produsen, pemerintah, ilmuwan dan masyarakat, telah melahirkan strategi yang teruji keterandalannya sekaligus produk-produk tradisional yang mampu bersaing di tengah maraknya produk-produk asing.
Program “Isson Ippin” (satu daerah/desa, satu produk), penelitian berkesinambungan, tuntas, dan terfokus pada komoditi unggulan; sistem bimbingan dan pengawasan yang efektif; penjaminan harga; promosi dan pembentukan “image” serta penyerataan dalam program-program pariwisata merupakan contoh-contoh strategi yang telah cukup sukses membawa produk-produk pangan lokalnya tetap menjadi primadona di tempat asalnya. Atau bahkan menembus pasar manca negara. Konsep pangan Jepang terkini telah melahirkan suatu kelompok pangan dengan fungsi baru-FOSHU (Foods for Specified Health Uses) yang didukung penuh oleh tiga kementerian sekaligus, yaitu : Kementerian Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan serta Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat. Konsep ini menjadi terobosan baru bagi dunia pangan yang saat ini dikenal dengan konsep pangan fungsional.
Untuk Indonesia, mungkin belum bisa merealisasikan “Satu desa satu produk”. Karena hingga saat ini masih sedikit informasi yang didapat terkait pengembangan pangan tradisional dengan konsep “Satu kabupaten satu produk pangan andalan”. Sebagai negeri dengan kelimpahan sumber daya alam,  masih banyak potensi di tiap-tiap daerah yang belum digali dengan fokus jelas dan digarap secara terpadu hingga tuntas. Indonesia memiliki peluang yang besar akan ini.
Penelitian merupakan bagian penting dari pengembangan suatu produk, termasuk makanan tradisional. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh makanan tradisional harus dapat dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian. Penelitian yang tuntas, dari hulu hingga hilir termasuk dari segi sosialisasi dan pemasaran. Keberanian pemerintah untuk melakukan penelitian bersama yang berkesinambungan sangat diperlukan untuk memfungsikan peranan pangan tradisional untuk menjamin ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan negara akan impor komoditi asing khususnya produk pangan.
Kerja sama yang solid, sebagai suatu konsep dari bio-eco-culture, antara perusahaan, pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan kelompok masyarakat yang tanggap akan inovasi sangat diharapkan agar tujuan kemandirian pangan dapat dicapai. Melalui ini potensi besar negeri ini bisa dioptimalkan dengan tidak melupakan pengembangan dari sisi sosialnya, yaitu menumbuhkan rasa percaya dan cinta masyarakat karena itulah kunci  keberhasilan dan pencapaian tujuan akhir. Adalah tanggung jawab kita semua untuk lebih meningkatkan citra produk makanan tradisional kita untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. 

Tulisan ini dimuat di http://berandainovasi.com/program-satu-desa-satu-produk-sebagai-aplikasi-bio-eco-culture-untuk-mendukung-ketahanan-pangan/
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

About me

Nutritionist | CHSE Auditor | Career Trainer | NGO Consultant | Marketer | HR & Talent Development | Healthy Living Enthusiast

Let's Connect & Collaborate

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • linkedin
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Mei 2015 (7)

Created with by ThemeXpose