• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook instagram youtube Email

Pauzi Nutritionist

"Better Nutrition For Better Life"



Ditinjau dari potensi sumberdaya wilayah, sumberdaya alam Indonesia memiliki potensi ketersediaan pangan yang beragam dari satu wilayah ke wilayah lainnya, baik sebagai sumber karbohidrat maupun protein, vitamin dan mineral, yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah dan biji berminyak. Potensi sumberdaya pangan tersebut belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal untuk dikembangkan menjadi industri kreatif, mengingat pangan adalah basis dasar penopang sumber energi manusia hingga mampu beraktifitas dan berproduksi. Sehingga pola konsumsi pangan rumah tangga masih didominasi pada beras dan keanekaragaman konsumsi pangan dan gizi yang sesuai dengan kaidah nutrisi yang seimbang, belum terwujud.

Memperhatikan kondisi dan peluang pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan harus diarahkan untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk baik jumlah, mutu dan keragaman sehingga dapat diwujudkan konsumsi pangan dan gizi yang seimbang, seiring mengurangi ketergantungan pada beras dan pangan impor. Kondisi tersebut dapat tercapai apabila pangan yang dibutuhkan dapat di produksi dan tersedia setiap saat dalam jumlah, mutu, ragam, yang cukup serta aman dan terjangkau oleh masyarakat baik secara ekonomis maupun fisik. Langkah nyata untuk mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan adalah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang sangat besar dalam menghasilkan pangan lokal di setiap wilayah melalui pengembangan industri kreatif.

Definisi industri kreatif dari Departemen Perdagangan RI adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sementara ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif. Nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa di era kreatif tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global dengan hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja, tetapi bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas dan imajinasi.

Penganekaragaman konsumsi pangan yang diikuti pengembangan produk melalui industri kreatif akan memberikan dorongan dan insentif kepada penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan aman untuk dikonsumsi termasuk produk pangan yang berbasis sumberdaya lokal. Pemilihan sumber pangan lokal sebagai cadangan pangan akan menimbulkan efek positif, seperti terhidupinya para petani dan tumbuhnya industri pangan lokal, seperti industri pengolahan pangan non beras yang berbasis lokal dan mengurangi ketergantungan pada produk pangan impor. Dengan memanfaatkan teknologi dan pengolahan yang tepat berbagai pangan lokal dapat dijadikan berbagai variasi makanan yang layak diunggulkan sebagai peluang pembentukan industri kreatif bidang makanan sekaligus mendukung program diversifikasi pangan.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam konferensi The 2nd World International Property Organization (WIPO) International Conference on Intellectual Property and The Creative Industries di Nusa Dua mengatakan, PDB Indonesia dari industri kreatif lebih kecil dibandingkan dengan negara maju seperti Inggris sebesar 7,9 persen dengan pertumbuhan per tahun 9 persen. Namun, kontribusi industri kreatif Indonesia terhadap PDB masih lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru sebesar 3,1 persen, dan Australia sebesar 3,3 persen.

Selama tahun 2002-2006 rata-rata industri kreatif di Indonesia mampu menyerap tenaga kerja 5,8 persen atau 5,4 juta pekerja. Nilai ekspor dari industri kreatif mencapai Rp 69,8 triliun atau 10,6 persen dari ekspor nasional. Menurut Mari, pada tahun 2009-2015, yang disebut tahap penguatan dasar dan fondasi, peningkatan kontribusi PDB dari industri kreatif ditargetkan sebesar 7-8 persen.

Sementara peningkatan kontribusi ekspor menjadi 11-12 persen dan penyerapan tenaga kerja 6-7 persen. Pada tahun 2016-2025, jumlah kantong industri kreatif akan menjadi dua kali lipat dari jumlah yang ada sampai tahun 2015. Dengan demikian peluang pengembangan industri kreatif berbasis pangan lokal dapat dijadikan basis yang cukup memiliki andil besar dalam sumbangsih peningkatan kesejahteraan penduduk umumnya dan masyarakat petani khususnya sehingga akan berimbas pada menurunnya angka kemiskinan penduduk.
           
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang besar (nomor 2 di dunia) namun amat disayangkan pemanfaatannya belum begitu optimal dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Terdapat 800 spesies tumbuhan pangan, ± 1000 spesies tumbuhan medisinal, dan ribuan spesies microalgae belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan masyarakat. Melihat tingginya konsumsi pangan Indonesia khususnya beras 102,82 kg /kapita/thn (Susenas 2011),  jauh bila dibandingkan dengan rata-rata dunia 60 kg/kapita/thn. Belum lagi tingginya data impor pangan yang secara langsung mempengaruhi kestabilan ketahanan pangan nasional. Angka impor susu  mencapai 80%, gula 30%, daging sapi 30%, beras 2 juta ton/tahun, gandum 5 juta ton/thn (Susenas 2011). Padahal jika ditelaah lebih lanjut potensi Indonesia sendiri amatlah besar dalam pemenuhan pangannya tanpa harus melakukan impor. Meski demikian, wacana “pangan sebagai hak asasi manusia” pada akhirnya hanya menjadi sebuah dialektika Faktanya hingga saat ini perihal ketahanan pangan nasional masih menjadi agenda besar pemerintah.

Hal lain, masih banyaknya didapati kasus kelaparan maupun malnutrisi di kalangan masyarakat khususnya pada skala ekonomi menengah ke bawah merupakan implikasi ketahanan pangan nasional yang masih rendah. Diduga terjadi karena konsepsi ketahanan pangan itu sendiri belum terwujud di negeri ini. Ironisnya, upaya mewujudkan ketahanan pangan ini seolah jalan di tempat, karena hanya segelintir orang yang benar-benar memerhatikannya.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat digunakan untuk mengukur secara langsung kualitas sumber daya dengan cara mengukur kecukupan pangan dan gizinya. Karena sifatnya yang dinamis, ketahanan pangan di suatu negara sangant dipengaruhi tidak hanya dari produksi dan sistemnya namun juga oleh kondisi sosial ekonomi yang terjadi di negara tersebut.

Konsep ketahanan pangan dapat dilihat dari segi individu dan nasional. Konsep ketahanan pangan di tingkat individu mengacu pada suatu keadaan yang dapat menjamin setiap individu dimanapun, kapanpun untuk memperoleh pangan agar dapat mempertahankan hidup sehat. Sedangkan konsep ketahanan pangan nasional berarti adanya jaminan kecukupan pangan dan gizi di tingkat nasional dari waktu ke waktu. Untuk menjamin ketahanan pangan nasional sampai tingkat, ketersediaan pangan dan keterjangkauan aksesnya oleh semua orang merupakan dua syarat penting. Ketidakseimbangan antara ketersediaan dan akses dapat menyebabkan ancaman ketahanan pangan (food insecurity). Bukti empiris menunjukkan bahwa rapuhnya ketahanan pangan nasional suatu negara dapat memicu timbulnya goncangan ekonomi dan meningkatnya kriminalitas (Suryana, 2001)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Perwujudan ketahanan pangan nasional dalam implementasinya haruslah secara berkelanjutan. Yang dimaksud dengan “berkelanjutan” adalah bahwa penyelenggaraan pangan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk masa kini dan masa depan.

Hal ikhwal dalam menyukseskan upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional ini  tentu saja akan menuntut sinergi peran dari banyak pihak (stake holder) Agar pengadaan pangan yang cukup, aman, bermutu, beragam, dan bergizi serta dapat mengentaskan masyarakat dari bahaya kelaparan dan malnutrisi dapat terwujud. Sinergi peran pemerintah, masyarakat umum, akademisi, bahkan pihak-pihak swasta amatlah diperlukan, tak terkecuali mahasiswa. Maka pertanyaan terpentingnya adalah, “Sebagai mahasiswa, apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan bangsa ini?”

Mahasiswa adalah kalangan yang dianggap sebagai kaum intelektual oleh masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang diambil mahasiswa untuk berkontribusi dalam membantu mengatasi permasalahan pangan bangsa ini tentunya harus berdasarkan keilmuan dan pemikiran yang logis. Mahasiswa dapat mengkritisi kebijakan pemerintah manakala sikap kritis itu dapat menjadi pertimbangan untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengkaji, “Apakah program raskin cukup dapat membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pangannya? Bagaimana mereka bisa mendapatkan bahan pangan pokok lainnya? Apakah kandungan raskin cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka sehingga peluang malnutrisi dapat diminimalkan? Kalau tidak, bagaimana seharusnya kebijakan yang dibuat?” Jawaban dari pertanyaan terakhir haruslah solutif.

Lebih dari sekadar mengkritisi kebijakan, mahasiswa harus lebih membuktikan dengan tindakan nyata, misalnya dengan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pangan dan gizi atau dengan turun langsung ke masyarakat dan berbagi ilmu dengan masyarakat melalui kegiatan pengembangan masyarakat (Community Development). Teori-teori keilmuan dan profesi yang dipelajari selama perkuliahan tentu saja tidak akan terlalu bermanfaat jika belum ditransformasi dalam tindakan-tindakan nyata membantu masyarakat. Aksi nyata mahasiswa seperti berbagi ilmu melalui pembinaan dan penyuluhan serta pelatihan kepada masyarakat di daerah-daerah rawan kelaparan dan malnutrisi untuk memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki agar menjadi bentuk pangan yang lebih bergizi dan memiliki nilai tambah. Hal ini dalam jangka pendek akan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup dan bergizi dalam skala kecil, yaitu skala masyarakat itu sendiri. Dalam jangka panjang, mahasiswa dapat membantu masyarakat membangun kemandirian usaha berbasis pangan lokal yang pada gilirannya juga dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Penulis yakiin, kegiatan-kegiatan mahasiswa semacam ini akan banyak mendapat dukungan, baik dari pihak universitas, pemerintah, maupun organisasi-organisasi swasta yang peduli pada kondisi pangan bangsa.

Jika hal ini dilakukan di banyak tempat, proyeksi berhasilnya program akan jauh lebih besar, namun sebelumnya diperlukan model pengembangan di beberapa tempat terlebih dahulu. Tidak hanya mahasiswa pangan dan gizi yang dapat melakukan hal ini, mahasiswa dengan basis bidang keilmuan lain pun dapat membantu asalkan mau sedikit mempelajari ilmunya. Tak akan terlalu rumit, hanya butuh niat yang lurus dan tekad yang utuh serta usaha yang konsisten dan benar-benar. Dengan demikian dalam waktu dekat bisa dipastikan bahwa Indonesia optimis akan mampu mewujudkana ketahanan pangan nasional  yang berkelanjutan.


Referensi:
Data Susenas 2011.
Suryana, A. 2007. Tantangan dan Kebijakan Pangan. Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, 29 Maret 2001.
Widya Karya Pangan dan Gizi 2012.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 34 provinsi yang tersebar dari sabang sampai merauke memiliki budaya yang beraneka ragam, begitu pun dengan makanan tradisional yang ada di dalamnya. Makanan tradisional dengan cita rasa khas menjadi indikator bagi setiap daerah di Indonesia. Dalam konsep ketahanan pangan, satu produk memiliki kontribusi penting dalam menjamin ketahanan pangan di setiap daerah. Sehingga dinilai sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Namun sangat disayangkan hingga detik ini, upaya pelestarian dan pemanfaatan optimal produk pangan lokal masih belum menjadi perhatian khusus pemerintah.
Konsep bio-eco culture berkaitan dengan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan harus dipahami dan diartikan dengan benar. Ketahanan pangan adalah kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai dengan preferensinya (FAO). Mandiri pangan dipahami  sebagai upaya pemenuhan kebutuhan yang dapat dicukupi oleh kemampuan sumberdaya yang dimiliki, dilihat dari bekerjanya subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Ketahanan pangan “melibatkan banyak pelaku dari berbagai aspek dan mencakup interaksi antar wilayah, sehingga memerlukan pendekatan sistem yang disebut sistem ketahanan pangan”.
Konsep bio-eco culture membutuhkan keberadaan lingkungan hidup yang mendukung terwujudnya tujuan akhir dari implementasi dan rekayasa pada konsep ini. Lingkungan hidup berperan penting dalam interaksi antar komponen (bio-geo sistem) yang mendukung perputaran fungsi hayati dalam ekosistem. Sehingga amat diperlukan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang menjadi basis pertahanan, meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Dalam pola untuk mempertahankan eksistensinya dituntut adanya pola adaptasi yang tinggi diantara seluruh aspek yang ada dalam lingkungan, sehingga konsep bio-eco culture dapat diterapkan dalam pemenuhan pangan dan gizi.
Kita hendaknya dapat belajar banyak dari Jepang dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai dan budaya yang eksistensinya mampu sejajar dengan modernisasi zaman. Jepang merupakan salah satu negara yang mampu mengantisipasi kemajuan zaman tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Hal ini tampak juga pada pengembangan produk-produk makanan tradisionalnya. Strategi pengembangan makanan tradisional yang terpadu secara erat baik oleh pihak produsen, pemerintah, ilmuwan dan masyarakat, telah melahirkan strategi yang teruji keterandalannya sekaligus produk-produk tradisional yang mampu bersaing di tengah maraknya produk-produk asing.
Program “Isson Ippin” (satu daerah/desa, satu produk), penelitian berkesinambungan, tuntas, dan terfokus pada komoditi unggulan; sistem bimbingan dan pengawasan yang efektif; penjaminan harga; promosi dan pembentukan “image” serta penyerataan dalam program-program pariwisata merupakan contoh-contoh strategi yang telah cukup sukses membawa produk-produk pangan lokalnya tetap menjadi primadona di tempat asalnya. Atau bahkan menembus pasar manca negara. Konsep pangan Jepang terkini telah melahirkan suatu kelompok pangan dengan fungsi baru-FOSHU (Foods for Specified Health Uses) yang didukung penuh oleh tiga kementerian sekaligus, yaitu : Kementerian Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan serta Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat. Konsep ini menjadi terobosan baru bagi dunia pangan yang saat ini dikenal dengan konsep pangan fungsional.
Untuk Indonesia, mungkin belum bisa merealisasikan “Satu desa satu produk”. Karena hingga saat ini masih sedikit informasi yang didapat terkait pengembangan pangan tradisional dengan konsep “Satu kabupaten satu produk pangan andalan”. Sebagai negeri dengan kelimpahan sumber daya alam,  masih banyak potensi di tiap-tiap daerah yang belum digali dengan fokus jelas dan digarap secara terpadu hingga tuntas. Indonesia memiliki peluang yang besar akan ini.
Penelitian merupakan bagian penting dari pengembangan suatu produk, termasuk makanan tradisional. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh makanan tradisional harus dapat dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian. Penelitian yang tuntas, dari hulu hingga hilir termasuk dari segi sosialisasi dan pemasaran. Keberanian pemerintah untuk melakukan penelitian bersama yang berkesinambungan sangat diperlukan untuk memfungsikan peranan pangan tradisional untuk menjamin ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan negara akan impor komoditi asing khususnya produk pangan.
Kerja sama yang solid, sebagai suatu konsep dari bio-eco-culture, antara perusahaan, pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan kelompok masyarakat yang tanggap akan inovasi sangat diharapkan agar tujuan kemandirian pangan dapat dicapai. Melalui ini potensi besar negeri ini bisa dioptimalkan dengan tidak melupakan pengembangan dari sisi sosialnya, yaitu menumbuhkan rasa percaya dan cinta masyarakat karena itulah kunci  keberhasilan dan pencapaian tujuan akhir. Adalah tanggung jawab kita semua untuk lebih meningkatkan citra produk makanan tradisional kita untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. 

Tulisan ini dimuat di http://berandainovasi.com/program-satu-desa-satu-produk-sebagai-aplikasi-bio-eco-culture-untuk-mendukung-ketahanan-pangan/
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Kedelai atau Glycine max (L) Merr. termasuk familia Leguminoceae, sub famili Papilionaceae, genus Glycine max, berasal dari jenis kedelai liar yang disebut Glycine unriensis. Secara fisik setiap kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran dan komposisi kimianya. Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting. Komposisi gizi kedelai bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan warna kulit maupun kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48% sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%. Protein kedelai mengandung 18 asam amino, yaitu 9 jenis asam amino esensial dan 9 jenis asam amino nonesensial. Asam amino esensial meliputi sistin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenil alanin, treonin, triptofan dan valin. Asam amino nonesensial meliputi alanin, glisin, arginin, histidin, prolin, tirosin, asam aspartat dan asam glutamat. Selain itu, protein kedelai sangat peka terhadap perlakuan fisik dan kemis, misalnya pemanasan dan perubahan pH dapat menyebabkan perubahan sifat fisik protein seperti kelarutan, viskositas dan berat molekul. Perubahan-perubahan pada protein ini memberikan peranan sangat penting pada pengolahan pangan.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia diperoleh dalam bentuk tempe. Konsumsi tempe rata-rata pertahun di Indonesia saat ini sekitar 6,45 kg/orang. Tempe banyak dikonsumsi di Indonesia, bahkan sekarang telah mendunia. Kaum vegetarian banyak yang mengonsumsi tempe sebagai pengganti daging.  
Sebagai sumber bahan pangan, tempe merupakan salah satu makanan pokok yang dibutuhkan oleh tubuh. Tempe merupakan makanan yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasi. Masyarakat luas menjadikan tempe sebagai sumber protein nabati, selain itu harganya juga murah. Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degenerative (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur.
Dibandingkan dengan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung perut).
Mutu gizi tempe yang tinggi memungkinkan penambahan tempe untuk meningkatkan mutu serealia dan umbi-umbian. Hidangan makanan sehari-hari yang terdiri dari nasi, jagung, atau tiwul akan meningkat mutu gizinya bila ditambah tempe. Sepotong tempe goreng (50 gram) sudah cukup untuk meningkatkan mutu gizi 200 g nasi. Bahan makanan campuran beras-tempe, jagung-tempe, gaplek-tempe, dalam perbandingan 7:3, sudah cukup baik untuk diberikan kepada anak balita.
Berdasarkan uraian tersebut bahwa diramalkan di Indonesia akan terjadi peningkatan permasalahan gizi ketika produksi tempe terhenti akibat cost para pengrajin tempe naik yang tiada lain karena harga kedelai yang melambung dan pasokan kedelai untuk produksi berkurang. Bisa dibayangkan berapa banyak penduduk yang mungkin akan mengalami kurang protein karena ketidaksanggupan membeli daging dan keterbatasan sumber protein nabati (tempe) dalam kesehariannya.

Tulisan ini  pernah dimuat di  http://berandainovasi.com/cerita-lain-di-balik-polemik-kedelai/
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Dalam Millenium Development Goals (MDGs), ditegaskan  untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Ketahanan pangan yang dibangun di Indonesia, disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa. Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Indonesia dalam pemenuhan konsumsi masyarakat menghadapi tantangan cukup besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 250 juta jiwa dan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Ketahanan pangan pada suatu negara tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan distribusi pangan Stevens et al (2007).
Keterbatasan konsep swasembada pangan ini terjadi di Afrika pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai swasembada justru menimbulkan krisis pangan pada masyarakat. Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup. Ketersediaan pangan yang stabil memang merupakan salah satu kebutuhan dalam kelangsungan sebuah negara untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional namun apabila tidak didukung dengan  akses dan distribusi yang merata ketahanan pangan yang dimaksud akan sangat sulit digapai.
Pemerintah Indonesia sudah sejak lama telah berupaya keras untuk mencapai swasembada pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, sekaligus meningkatkan ketahanan pangan individu, masyarakat dan nasional. Cukup beratnya perjuangan yang dilakukan. Sudah banyak pula dikemukakan dan didiskusikan. Namun masih tetap ada tantangan yang dihadapi. Tahun 2010 untuk produksi padi ternyata dapat menutupi kebutuhan konsumsi domestik sebesar 59,62 juta ton, yang berarti terdapat surplus sekitar 7,19 juta ton GKG. Dengan tren produksi, potensi yang ada dan asumsi bahwa anomali iklim yang terkait dengan pemanasan global, tidak bertambah parah, maka sasaran produksi tahun 2014 akan dapat dicapai.
Namun swasembada pangan itu sendiri belum signifikan meningkatkan pendapatan pertanian yang ditandai dengan masih konstannya pendapatan usahatani padi dalam beberapa periode pembangunan (Mulyana,2003). Selain itu, apabila tarif impor dihapuskan untuk mematuhi agenda perdagangan bebas akan berakibat pada meningkatnya kerentanan ekonomi masyarakat petani pangan, khususnya beras di dalam negeri.
Dalam hal ketahanan pangan melalui upaya swasembada, hal yang harus diperhatikan pemerintah adalah aspek ketersediaan pangan, aspek distribusi pangan, aspek aksesibilitas pangan dan yang paling menjadi sorotan yang dianggap berpengaruh besar untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah aspek kelembagaan. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut maka swasembada dan ketahanan pangan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani akan sangat mungkin digapai.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana, baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Potensi bencana alam yang ada di Indonesia terutama berasal dari kondisi geografis Indonesia yang berada di pertemuan 2 jalur pegunungan aktif terpanjang di dunia yakni sirkum mediterania dan pasifik. Kondisi ini menimbulkan potensi gunung di Indonesia dapat aktif dan meletus kapan saja. Potensi bencana alam lain timbul dari posisi lempeng tektonik Indonesia yang berada di antara lempeng australia dan lempeng pasifik yang terus bergerak aktif. Hal ini tentu menyebabkan potensi gempa bumi dan tsunami di seluruh garis pantai Indonesia. Selain bencana alam, di Indonesia tidak menutup kemungkinan terjadi bencana akibat ulah manusia seperti kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan sebagainya.
Bencana yang terjadi di Indonesia selain menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur juga menyebabkan timbulnya pengungsi. Pengungsi harus dapat bertahan hidup dalam kondisi dan situasi tidak seperti kehidupan normal. Salah satu kebutuhan pengungsi yang sangat urgensi adalah pemenuhan akan pangan dan gizi. Hal ini sangat penting karena akan secara langsung mempengaruhi stamina dan kondisi fisik dari pengungsi.
Kebutuhan akan pangan dan gizi pengungsi selama ini belum diperhatikan dengan baik. Selama ini, mi instan merupakan pangan darurat yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan pengungsi. Tentunya kebutuhan gizi pengungsi belum dapat dipenuhi dari mi instan. Selain itu penggunaan mi instan sebagai pangan darurat bersifat tidak praktis karena membutuhkan perlakuan tertentu dalam hal ini rehidrasi untuk mengkonsumsi.
Sehingga diperlukan sebuah formulasi pangan darurat yang memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai dengan kondisi pengungsi. Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat. Karakteristik kritis yang perlu diperhatikan dalam pengambangan pangan darurat ialah aman, memiliki kandungan gizi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan dan mudah digunakan.
Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) ialah pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat. Karakteristik kritis yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pangan darurat ialah aman, memiliki kandungan gizi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan dan mudah digunakan (Zoumas et. al. 2002). Tujuan utama pengembangan pangan darurat ialah mengurangi jumlah kematian diantara pengungsi dengan menyediakan pangan bergizi lengkap sebagai sumber energi satu-satunya. Pangan darurat juga diharapakan dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia (bayi berusia 0-12 bulan tidak termasuk di dalamnya).
Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan Institute of Medicine (IOM) (1995), bahwa rata-rata kebutuhan energi harian atau estimed the mean per capita energi requirements (EMCPER) individu di negara berkembang dengan aktifitas fisik yang cukup tinggi adalah sekitar 2100 kkal. Laporan ini menggunakan beberapa asumsi yaitu 1) Data populasi penduduk yang digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di negara berkembang, 2) Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan untuk dewasa adalah 155 cm. Nilai ini merupakan rataan tertinggi pada penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, 3) Nilai berat badan diukur berdasarkan median berat badan orang dewasa Amerika Serikat dengan tinggi yang proporsional dan 4) Total energi yang dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1,55 dan 1,56 kali BMR (basal metabolic rate).
Regulasi persyaratan pangan darurat di Indonesia belum ditetapkan. USA agency for International Development (USAID) memberikan spesifikasi untuk pangan darurat, yaitu:
a.   Dapat dikonsumsi dalam kondisi bergerak, tanpa perlu melakukan preparasi atau proses memasak
b.   Memenuhi kebutuhan gizi untuk populasi dengan umur diatas 6 bulan dengan acuan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 Kal/hari.
c.   Dapat diterima oleh semua etnik dan semua agama, serta tidak menggunakan bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu
d.   Dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk dan tidak mencelakakan orang yang ada di bawah.
e.   Mempunyai nilai gizi makro dan mikro.
f.    Memiliki kestabilan dalam organoleptik, patalabiliti, konsisten mutu dan nilai gizi.
Tabel 1. Kriteria Zat Gizi dalam Pangan Darurat
Kandungan gizi
Kelompok
Kebutuhan /1000 kkal
Kandungan per 50 gram
Lemak
N/A
-
9,12 g
Protein
51 + tahun, laki-laki
-
7,9 g
Karbohidrat
N/A
-
23,35 g
Natrium
2-5 tahun, anak-anak
1,3 g
300 mg
Kalium
2-5 tahun, anak-anak
1,7 g
396 mg
Klorin
2-5 tahun, anak-anak
2,0 g
466 mg
Kalsium
9-13 tahun, anak-anak
768 mg
180 mg
Fosfor
9-13 tahun, anak-anak
740 mg
172 mg
Magnesium
14-18 tahun, laki-laki
190 mg
45 mg
Kromium
-
13 µgd
3
Tembaga
51 +, wanita
560 µgd
131
Iodium
1-3 tahun, wanita
105 µgd
25
Besi
19-50 tahun, wanita
16 mgd
3,8
Mangan
1-3 tahun, anak-anak
1,4 mgd
0,33
Selenium
14-18 tahun, wanita
28 µgd
6,5
Seng
14-18 tahun, wanita
10,5 µgd
2,4 m
Vitamin A
14-18 tahun, wanita
500 µgd
117
Vitamin D
50-70 tahun, wanita
5,2 µgd
1,2
Vitamin E
14-18 tahun, wanita
16 mgd
2,2
Vitamin K
19-50 tahun, laki-laki
60 µgd
14
Vitamin C
51 tahun, wanita
100 mgd
11,1 mg
Thiamin
1-3 tahun, anak-anak
1,2 mgd
0,28 mg
Riboflavin
14-18 tahun laki-laki
1, 2 mgd
2,6 mg
Niasin
14-18 tahun laki-laki
11,2 mgNE d
0,28 mg
Vitamin B5
51 tahun, wanita
1,2 mgd
0,28 mg
Folat
14-18 tahun laki-laki
310 µgDFEd
72
Vitamin B12
14-18 tahun laki-laki
12 µgd
2,8
Pantotenat
14-18 tahun laki-laki
3,9 mgd
0,9
Biotin
51 tahun, wanita
24 µgd
5,6
Kolin
51 tahun, laki-laki
366 mgd
85 mg
Sumber : IOM (1995)
Dalam pengembangan pangan darurat, selain 5 karakteristik yang kritis ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu kestabilan mikrobiologis, kestabilan kimia, kestabilan fisik, kestabilan gizi, komposisi bahan yang digunakan penerimaan prototipe (Zoumas et. al. 2002). Kestabilan mikrobiologis, teknik pengawetan, termasuk didalamnya kombinasi rendahnya nilai aw dan beberapa pengawet merupakan cara yang baik untuk mendapatkan EFP yang stabil secara mikrobiologis.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah kestabilan kimia dan ketahanan gizi. Degradasi zat gizi dapat dijaga dengan mengusahakan besarnya aw sebesar0,4. Mikroenskapsulasi zat gizi atau penggunaan antioksidan seperti asam askorbat, vitamin E dapat digunakan untuk mengurangi oksidasi lemak maupun hilangnya gizi. Kombinasi antara antioksidan dengan mikroenkapsulasi dapat digunakan, bergantung dengan komposisi bahan baku EFP.
Penggunaan EFP ialah untuk para pengungsi dengan berbagai latar belakang, oleh karena itu, sebaiknya dilakukan percobaan penerimaan prototipe. Berat EFP yang direkomendasikan untuk memberikan total kalori 2100 kkal adalah 450 gram. Jumlah ini setara dengan 9 bar, dengan tiap barnya mengandung 233 kkal. Pangan darurat tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan bayi 0-6 bulan, pada bayi usia 7-12 bulan pangan darurat yang dikombinasikan dengan air merupakan makanan komplementer (Zoumas et. al. 2002).
Dalam mengembangkan komposisi zat gizi pangan darurat ada beberapa asumsi yang digunakan (Zoumas et. al. 2002). Asumsi ini merupakan gambaran dengan kondisi lingkungan yang akan mendapatkan pangan darurat. Asumsi yang digunakan pada pengembangan komposisi Gizi pangan darurat ialah
a.      Penyediaan air minum merupakan prioritas utama dan pengkonsumsian pangan darurat bersamaan dengan air.
b.      Pengkonsumsian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Tidak digunakan sebagai produk terapi dan sangat tidak tepat untuk penderita malgizi yang cukup parah.
c.      Produk dapat dikonsumsi oleh semua kategori usia, kecuali bayi kurang dari 6 bulan, dan produk tidak digunakan sebagai bahan pengganti ASI.
d.      Produk harus menyediakan dan memenuhi atau melebihi kebutuhan gizi sesuai dengan rekomendasi IOM yang didesain untuk memenuhi kebutuhan hampir keseluruhan individu dari berbagai kalangan usia dan jenis kelamin.
e.      Kebutuhan gizi untuk wanita hamil dan menyusui tidak termasuk dalam perhitungan namun diasumsikan bahwa apabila mereka mengkonsumsi lebih dari kebutuhan energi per hari telah mencapai lebih dari 2100 kkal/hari
Untuk mencapai total kalori yang dibutuhkan (2100 kkal) maka dalam pengembangan pangan darurat komposisi zat gizi mikro penyumbang energi perlu diperhatikan. Zoumas et. al. (2002) menyatakan jumlah lemak yang direkomendasikan ialah 35-45% dari total kalori yang dibutuhkan dengan minimal 10% energi berasal dari lemak jenuh, energi, perbandingan antara asam linoleat dengan α–linoleat harus 5 : 1. Produk menjadi kurang stabil akibat oksidasi apabila jumlah lemak lebih dari 45% total enegi (Zoumas et. al. 2002). Kandungan protein dalam pangan darurat ialah 10-15% dari total energi. Jumlah maksimum 15% direkomendasikan untuk menghindari timbulnya gangguan pada ginjal dan rasa haus yang berlebihan (Briend dan Golden, 1993 dalam Zoumas et. al. 2002).
Zat gizi makro lain yang memberikan energi ialah karbohidrat yang terdiri dari monosakarida, disakarida, dan poliakarida. Sumber utama karbohidrat ialah pati ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk rasa, palatabilitas, stabilitas dan fungsi metabolik (FAO/WAO, 1998 dalam Zoumas et. al. 2002). Total energi yang disumbangkan oleh karbohidrat ialah 40-50% dengan 50% didalam berasal dari pati. Tidak lebih dari 25% karbohidrat sebagai monosakarida. Dalam 1000 kkal tidak terdapat kandungan laktosa lebih dari 17 gram, hal ini untuk menghindari lactose intolerance. Komposisi bahan yang akan digunakan harus mengandung nilai gizi tertentu. Pangan darurat akan didistribusikan pada berbagai etnis dan kultur. Karenanya alkohol maupun produk hewan selain susu sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan bahan makanan yang dikenal dapat menimbulkan alergi, sebaiknya dihindari. Menurut Zoumas et. al. (2002) ada beberapa komposisi bahan yang direkomendasikan, yaitu:
a.      Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras.
b.      Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau isolat protein; susu bubuk seperti kasein dan turunnya; campuran antara bahan dasar serealia dan protein harus memiliki skor asam amino ≥ 1,0.
c.      Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak bungak matahari.
d.      Gula: Glukosa, high fructose corn syrup, maltodekstrin.
e.      Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk.
Kebutuhan energi tiap selang usia pada Tabel 1 merupakan dasar penyusunan kebutuhan gizi per 50 gram yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi seluruh kalangan usia diatas 6 bulan. Total kebutuhan makro dan mikro zat gizi yang diharapkan pada pangan darurat dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai ini merupakan kelompok pembatas merupakan golongan usia yang memiliki kebutuhan yang paling tinggi.
Penyediaan pangan darurat yang bersifat ready to eat diperlukan pada kondisi dimana para korban bencana tidak dapat hidup normal untuk memenuhi kebutuhannya. Produk tersebut hendaknya tidak sekedar menjadi pengganjal perut, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjadi pengganti fungsi sarapan dan makan dalam arti mampu memberi energi dalam jumlah yang cukup.
Pangan darurat dapat dibuat dengan menggunakan bahan pangan lokal yang belum dimanfaatkan secara optimal selama ini. Ini merupakan sebuah peluang besar yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif makanan pokok yang berpotensi besar untuk dikembangkan menggantikan bahan makanan pokok sehari-hari masyarakat Indonesia, yaitu beras.
Oleh karena itu, dewasa ini mengingat seringnya terjadi bencana di negeri ini penelitian-penelitian mengenai formulasi pangan darurat padat gizi yang sesuai dengan situasi dan kondisi pengungsi adalah sangat penting dan diperlukan. Sehingga ke depannya masalah-masalah gizi yang diakibatkan oleh bencana dapat lebih bisa dihindari atau setidaknya upaya preventif untuk ini dapat dilakukan sejak dini.
Referensi:
IOM.1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Emergency Food Aid Rations. National Academy Press. Washington D. C.
Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. 2002. High- Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press. Washington D C.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Nutritionist | CHSE Auditor | Career Trainer | NGO Consultant | Marketer | HR & Talent Development | Healthy Living Enthusiast

Let's Connect & Collaborate

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • linkedin
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Mei 2015 (7)

Created with by ThemeXpose