Pangan darurat : Solusi dan Peluang Saat Bencana
Indonesia
merupakan negara yang sarat akan potensi bencana, baik bencana alam maupun
bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Potensi bencana alam yang ada di
Indonesia terutama berasal dari kondisi geografis Indonesia yang berada di
pertemuan 2 jalur pegunungan aktif terpanjang di dunia yakni sirkum mediterania
dan pasifik. Kondisi ini menimbulkan potensi gunung di Indonesia dapat aktif
dan meletus kapan saja. Potensi bencana alam lain timbul dari posisi lempeng
tektonik Indonesia yang berada di antara lempeng australia dan lempeng pasifik
yang terus bergerak aktif. Hal ini tentu menyebabkan potensi gempa bumi dan
tsunami di seluruh garis pantai Indonesia. Selain bencana alam, di Indonesia
tidak menutup kemungkinan terjadi bencana akibat ulah manusia seperti kebakaran
hutan, banjir, tanah longsor dan sebagainya.
Bencana
yang terjadi di Indonesia selain menyebabkan korban jiwa dan kerusakan
infrastruktur juga menyebabkan timbulnya pengungsi. Pengungsi harus dapat
bertahan hidup dalam kondisi dan situasi tidak seperti kehidupan normal. Salah
satu kebutuhan pengungsi yang sangat urgensi adalah pemenuhan akan pangan dan
gizi. Hal ini sangat penting karena akan secara langsung mempengaruhi stamina dan
kondisi fisik dari pengungsi.
Kebutuhan
akan pangan dan gizi pengungsi selama ini belum diperhatikan dengan baik.
Selama ini, mi instan merupakan pangan darurat yang digunakan dalam memenuhi
kebutuhan pengungsi. Tentunya kebutuhan gizi pengungsi belum dapat dipenuhi dari
mi instan. Selain itu penggunaan mi instan sebagai pangan darurat bersifat
tidak praktis karena membutuhkan perlakuan tertentu dalam hal ini rehidrasi
untuk mengkonsumsi.
Sehingga diperlukan sebuah
formulasi pangan darurat
yang memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai dengan kondisi pengungsi. Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah
pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat. Karakteristik kritis yang
perlu diperhatikan dalam pengambangan pangan darurat ialah aman, memiliki
kandungan gizi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan dan mudah
digunakan.
Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) ialah pangan
khusus yang dikonsumsi pada saat darurat. Karakteristik kritis yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan pangan darurat ialah aman, memiliki kandungan gizi yang
cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan dan mudah digunakan (Zoumas et. al. 2002). Tujuan utama pengembangan
pangan darurat ialah mengurangi jumlah kematian diantara pengungsi dengan
menyediakan pangan bergizi lengkap sebagai sumber energi satu-satunya. Pangan
darurat juga diharapakan dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia (bayi
berusia 0-12 bulan tidak termasuk di dalamnya).
Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat
adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan Institute of Medicine (IOM) (1995), bahwa rata-rata
kebutuhan energi harian atau estimed
the mean per capita energi requirements (EMCPER)
individu di negara berkembang dengan aktifitas fisik yang cukup tinggi adalah
sekitar 2100 kkal. Laporan ini menggunakan beberapa asumsi yaitu 1) Data
populasi penduduk yang digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di negara berkembang, 2)
Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan untuk dewasa adalah 155
cm. Nilai ini merupakan rataan tertinggi pada penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia
Selatan dan Asia Tenggara, 3) Nilai berat badan diukur berdasarkan median berat
badan orang dewasa Amerika Serikat dengan tinggi yang proporsional dan 4) Total
energi yang dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1,55 dan
1,56 kali BMR (basal metabolic rate).
Regulasi persyaratan pangan darurat di Indonesia belum ditetapkan. USA agency for International Development (USAID) memberikan spesifikasi
untuk pangan darurat, yaitu:
a.
Dapat dikonsumsi dalam kondisi bergerak, tanpa perlu melakukan
preparasi atau proses memasak
b.
Memenuhi kebutuhan gizi untuk populasi dengan umur diatas 6 bulan
dengan acuan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 Kal/hari.
c.
Dapat diterima oleh semua etnik dan semua agama, serta tidak
menggunakan bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu
d.
Dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk dan tidak
mencelakakan orang yang ada di bawah.
e.
Mempunyai nilai gizi makro dan mikro.
f.
Memiliki kestabilan dalam organoleptik, patalabiliti, konsisten
mutu dan nilai gizi.
Tabel 1. Kriteria Zat Gizi dalam Pangan Darurat
Kandungan gizi
|
Kelompok
|
Kebutuhan /1000 kkal
|
Kandungan per 50 gram
|
Lemak
|
N/A
|
-
|
9,12 g
|
Protein
|
51 + tahun, laki-laki
|
-
|
7,9 g
|
Karbohidrat
|
N/A
|
-
|
23,35 g
|
Natrium
|
2-5 tahun, anak-anak
|
1,3 g
|
300 mg
|
Kalium
|
2-5 tahun, anak-anak
|
1,7 g
|
396 mg
|
Klorin
|
2-5 tahun, anak-anak
|
2,0 g
|
466 mg
|
Kalsium
|
9-13 tahun, anak-anak
|
768 mg
|
180 mg
|
Fosfor
|
9-13 tahun, anak-anak
|
740 mg
|
172 mg
|
Magnesium
|
14-18 tahun, laki-laki
|
190 mg
|
45 mg
|
Kromium
|
-
|
13 µgd
|
3
|
Tembaga
|
51 +, wanita
|
560 µgd
|
131
|
Iodium
|
1-3 tahun, wanita
|
105 µgd
|
25
|
Besi
|
19-50 tahun, wanita
|
16 mgd
|
3,8
|
Mangan
|
1-3 tahun, anak-anak
|
1,4 mgd
|
0,33
|
Selenium
|
14-18 tahun, wanita
|
28 µgd
|
6,5
|
Seng
|
14-18 tahun, wanita
|
10,5 µgd
|
2,4 m
|
Vitamin A
|
14-18 tahun, wanita
|
500 µgd
|
117
|
Vitamin D
|
50-70 tahun, wanita
|
5,2 µgd
|
1,2
|
Vitamin E
|
14-18 tahun, wanita
|
16 mgd
|
2,2
|
Vitamin K
|
19-50 tahun, laki-laki
|
60 µgd
|
14
|
Vitamin C
|
51 tahun, wanita
|
100 mgd
|
11,1 mg
|
Thiamin
|
1-3 tahun, anak-anak
|
1,2 mgd
|
0,28 mg
|
Riboflavin
|
14-18 tahun laki-laki
|
1, 2 mgd
|
2,6 mg
|
Niasin
|
14-18 tahun laki-laki
|
11,2 mgNE d
|
0,28 mg
|
Vitamin B5
|
51 tahun, wanita
|
1,2 mgd
|
0,28 mg
|
Folat
|
14-18 tahun laki-laki
|
310 µgDFEd
|
72
|
Vitamin B12
|
14-18 tahun laki-laki
|
12 µgd
|
2,8
|
Pantotenat
|
14-18 tahun laki-laki
|
3,9 mgd
|
0,9
|
Biotin
|
51 tahun, wanita
|
24 µgd
|
5,6
|
Kolin
|
51 tahun, laki-laki
|
366 mgd
|
85 mg
|
Sumber :
IOM (1995)
Dalam pengembangan pangan darurat, selain 5 karakteristik yang
kritis ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu kestabilan mikrobiologis,
kestabilan kimia, kestabilan fisik, kestabilan gizi, komposisi bahan yang
digunakan penerimaan prototipe (Zoumas et. al. 2002). Kestabilan
mikrobiologis, teknik pengawetan, termasuk didalamnya kombinasi rendahnya nilai
aw dan beberapa
pengawet merupakan cara yang baik untuk mendapatkan EFP yang stabil secara
mikrobiologis.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah kestabilan kimia dan
ketahanan gizi. Degradasi zat gizi dapat dijaga dengan mengusahakan besarnya aw sebesar0,4. Mikroenskapsulasi
zat gizi atau penggunaan antioksidan seperti asam askorbat, vitamin E dapat
digunakan untuk mengurangi oksidasi lemak maupun hilangnya gizi. Kombinasi
antara antioksidan dengan mikroenkapsulasi dapat digunakan, bergantung dengan
komposisi bahan baku EFP.
Penggunaan EFP ialah untuk para pengungsi dengan berbagai latar
belakang, oleh karena itu, sebaiknya dilakukan percobaan penerimaan prototipe.
Berat EFP yang direkomendasikan untuk memberikan total kalori 2100 kkal adalah
450 gram. Jumlah ini setara dengan 9 bar, dengan tiap barnya mengandung 233
kkal. Pangan darurat tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan bayi 0-6 bulan,
pada bayi usia 7-12 bulan pangan darurat yang dikombinasikan dengan air
merupakan makanan komplementer (Zoumas et.
al. 2002).
Dalam mengembangkan komposisi zat gizi pangan darurat ada beberapa
asumsi yang digunakan (Zoumas et.
al. 2002). Asumsi ini
merupakan gambaran dengan kondisi lingkungan yang akan mendapatkan pangan
darurat. Asumsi yang digunakan
pada pengembangan komposisi Gizi pangan darurat ialah
a.
Penyediaan air minum merupakan prioritas utama dan pengkonsumsian
pangan darurat bersamaan dengan air.
b.
Pengkonsumsian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Tidak
digunakan sebagai produk terapi dan sangat tidak tepat untuk penderita malgizi
yang cukup parah.
c.
Produk dapat dikonsumsi oleh semua kategori usia, kecuali bayi
kurang dari 6 bulan, dan produk tidak digunakan sebagai bahan pengganti ASI.
d.
Produk harus menyediakan dan memenuhi atau melebihi kebutuhan gizi
sesuai dengan rekomendasi IOM yang didesain untuk memenuhi kebutuhan hampir
keseluruhan individu dari berbagai kalangan usia dan jenis kelamin.
e.
Kebutuhan gizi untuk wanita hamil dan menyusui tidak termasuk
dalam perhitungan namun diasumsikan bahwa apabila mereka mengkonsumsi lebih
dari kebutuhan energi per hari telah mencapai lebih dari 2100 kkal/hari
Untuk mencapai total kalori yang dibutuhkan (2100 kkal) maka dalam
pengembangan pangan darurat komposisi zat gizi mikro penyumbang energi perlu
diperhatikan. Zoumas et. al. (2002)
menyatakan jumlah lemak yang direkomendasikan ialah 35-45% dari total kalori
yang dibutuhkan dengan minimal 10% energi berasal dari lemak jenuh, energi,
perbandingan antara asam linoleat dengan α–linoleat harus 5 : 1. Produk menjadi
kurang stabil akibat oksidasi apabila jumlah lemak lebih dari 45% total enegi
(Zoumas et. al. 2002).
Kandungan protein dalam pangan darurat ialah 10-15% dari total energi. Jumlah
maksimum 15% direkomendasikan untuk menghindari timbulnya gangguan pada ginjal
dan rasa haus yang berlebihan (Briend dan Golden, 1993 dalam Zoumas et. al. 2002).
Zat gizi makro lain yang memberikan energi ialah karbohidrat yang
terdiri dari monosakarida, disakarida, dan poliakarida. Sumber utama
karbohidrat ialah pati ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk rasa,
palatabilitas, stabilitas dan fungsi metabolik (FAO/WAO, 1998 dalam Zoumas et. al. 2002). Total energi yang disumbangkan
oleh karbohidrat ialah 40-50% dengan 50% didalam berasal dari pati. Tidak lebih
dari 25% karbohidrat sebagai monosakarida. Dalam 1000 kkal tidak terdapat
kandungan laktosa lebih dari 17 gram, hal ini untuk menghindari lactose intolerance. Komposisi bahan yang akan
digunakan harus mengandung nilai gizi tertentu. Pangan darurat akan
didistribusikan pada berbagai etnis dan kultur. Karenanya alkohol maupun produk
hewan selain susu sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan bahan makanan yang
dikenal dapat menimbulkan alergi, sebaiknya dihindari. Menurut Zoumas et. al. (2002) ada beberapa komposisi bahan
yang direkomendasikan, yaitu:
a.
Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras.
b.
Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau
isolat protein; susu bubuk seperti kasein dan turunnya; campuran antara bahan
dasar serealia dan protein harus memiliki skor asam amino ≥ 1,0.
c.
Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak
kanola, minyak bungak matahari.
d.
Gula: Glukosa, high
fructose corn syrup, maltodekstrin.
e.
Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan
profil produk.
Kebutuhan energi tiap selang usia pada Tabel 1 merupakan dasar
penyusunan kebutuhan gizi per 50 gram yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
gizi seluruh kalangan usia diatas 6 bulan. Total kebutuhan makro dan mikro zat
gizi yang diharapkan pada pangan darurat dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai ini
merupakan kelompok pembatas merupakan golongan usia yang memiliki kebutuhan
yang paling tinggi.
Penyediaan pangan
darurat yang bersifat ready to eat diperlukan pada kondisi dimana para
korban bencana tidak dapat hidup normal untuk memenuhi kebutuhannya. Produk
tersebut hendaknya tidak sekedar menjadi pengganjal perut, tetapi juga memiliki
kemampuan untuk menjadi pengganti fungsi sarapan dan makan dalam arti mampu
memberi energi dalam jumlah yang cukup.
Pangan darurat dapat dibuat
dengan menggunakan bahan pangan lokal yang belum dimanfaatkan secara optimal selama ini. Ini merupakan sebuah peluang
besar yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif makanan pokok
yang berpotensi besar untuk dikembangkan menggantikan bahan makanan pokok
sehari-hari masyarakat Indonesia, yaitu beras.
Oleh
karena itu, dewasa ini mengingat seringnya terjadi bencana di
negeri ini penelitian-penelitian mengenai formulasi pangan
darurat padat gizi yang sesuai dengan situasi dan kondisi pengungsi adalah sangat penting dan diperlukan. Sehingga ke
depannya masalah-masalah gizi yang diakibatkan oleh bencana dapat lebih bisa
dihindari atau setidaknya upaya preventif untuk ini dapat dilakukan sejak dini.
Referensi:
IOM.1995. Estimated Mean per Capita
Energy Requirements for Planning Emergency Food Aid Rations. National Academy
Press. Washington D. C.
Zoumas,
B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P.
Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. 2002. High- Energy, Nutrien-Dense
Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine.
National Academy Press. Washington D C.
0 komentar