Pangan darurat : Solusi dan Peluang Saat Bencana

by - 02.06

Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana, baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Potensi bencana alam yang ada di Indonesia terutama berasal dari kondisi geografis Indonesia yang berada di pertemuan 2 jalur pegunungan aktif terpanjang di dunia yakni sirkum mediterania dan pasifik. Kondisi ini menimbulkan potensi gunung di Indonesia dapat aktif dan meletus kapan saja. Potensi bencana alam lain timbul dari posisi lempeng tektonik Indonesia yang berada di antara lempeng australia dan lempeng pasifik yang terus bergerak aktif. Hal ini tentu menyebabkan potensi gempa bumi dan tsunami di seluruh garis pantai Indonesia. Selain bencana alam, di Indonesia tidak menutup kemungkinan terjadi bencana akibat ulah manusia seperti kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan sebagainya.
Bencana yang terjadi di Indonesia selain menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur juga menyebabkan timbulnya pengungsi. Pengungsi harus dapat bertahan hidup dalam kondisi dan situasi tidak seperti kehidupan normal. Salah satu kebutuhan pengungsi yang sangat urgensi adalah pemenuhan akan pangan dan gizi. Hal ini sangat penting karena akan secara langsung mempengaruhi stamina dan kondisi fisik dari pengungsi.
Kebutuhan akan pangan dan gizi pengungsi selama ini belum diperhatikan dengan baik. Selama ini, mi instan merupakan pangan darurat yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan pengungsi. Tentunya kebutuhan gizi pengungsi belum dapat dipenuhi dari mi instan. Selain itu penggunaan mi instan sebagai pangan darurat bersifat tidak praktis karena membutuhkan perlakuan tertentu dalam hal ini rehidrasi untuk mengkonsumsi.
Sehingga diperlukan sebuah formulasi pangan darurat yang memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai dengan kondisi pengungsi. Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat. Karakteristik kritis yang perlu diperhatikan dalam pengambangan pangan darurat ialah aman, memiliki kandungan gizi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan dan mudah digunakan.
Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) ialah pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat. Karakteristik kritis yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pangan darurat ialah aman, memiliki kandungan gizi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan dan mudah digunakan (Zoumas et. al. 2002). Tujuan utama pengembangan pangan darurat ialah mengurangi jumlah kematian diantara pengungsi dengan menyediakan pangan bergizi lengkap sebagai sumber energi satu-satunya. Pangan darurat juga diharapakan dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia (bayi berusia 0-12 bulan tidak termasuk di dalamnya).
Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan Institute of Medicine (IOM) (1995), bahwa rata-rata kebutuhan energi harian atau estimed the mean per capita energi requirements (EMCPER) individu di negara berkembang dengan aktifitas fisik yang cukup tinggi adalah sekitar 2100 kkal. Laporan ini menggunakan beberapa asumsi yaitu 1) Data populasi penduduk yang digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di negara berkembang, 2) Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan untuk dewasa adalah 155 cm. Nilai ini merupakan rataan tertinggi pada penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, 3) Nilai berat badan diukur berdasarkan median berat badan orang dewasa Amerika Serikat dengan tinggi yang proporsional dan 4) Total energi yang dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1,55 dan 1,56 kali BMR (basal metabolic rate).
Regulasi persyaratan pangan darurat di Indonesia belum ditetapkan. USA agency for International Development (USAID) memberikan spesifikasi untuk pangan darurat, yaitu:
a.   Dapat dikonsumsi dalam kondisi bergerak, tanpa perlu melakukan preparasi atau proses memasak
b.   Memenuhi kebutuhan gizi untuk populasi dengan umur diatas 6 bulan dengan acuan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 Kal/hari.
c.   Dapat diterima oleh semua etnik dan semua agama, serta tidak menggunakan bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu
d.   Dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk dan tidak mencelakakan orang yang ada di bawah.
e.   Mempunyai nilai gizi makro dan mikro.
f.    Memiliki kestabilan dalam organoleptik, patalabiliti, konsisten mutu dan nilai gizi.
Tabel 1. Kriteria Zat Gizi dalam Pangan Darurat
Kandungan gizi
Kelompok
Kebutuhan /1000 kkal
Kandungan per 50 gram
Lemak
N/A
-
9,12 g
Protein
51 + tahun, laki-laki
-
7,9 g
Karbohidrat
N/A
-
23,35 g
Natrium
2-5 tahun, anak-anak
1,3 g
300 mg
Kalium
2-5 tahun, anak-anak
1,7 g
396 mg
Klorin
2-5 tahun, anak-anak
2,0 g
466 mg
Kalsium
9-13 tahun, anak-anak
768 mg
180 mg
Fosfor
9-13 tahun, anak-anak
740 mg
172 mg
Magnesium
14-18 tahun, laki-laki
190 mg
45 mg
Kromium
-
13 µgd
3
Tembaga
51 +, wanita
560 µgd
131
Iodium
1-3 tahun, wanita
105 µgd
25
Besi
19-50 tahun, wanita
16 mgd
3,8
Mangan
1-3 tahun, anak-anak
1,4 mgd
0,33
Selenium
14-18 tahun, wanita
28 µgd
6,5
Seng
14-18 tahun, wanita
10,5 µgd
2,4 m
Vitamin A
14-18 tahun, wanita
500 µgd
117
Vitamin D
50-70 tahun, wanita
5,2 µgd
1,2
Vitamin E
14-18 tahun, wanita
16 mgd
2,2
Vitamin K
19-50 tahun, laki-laki
60 µgd
14
Vitamin C
51 tahun, wanita
100 mgd
11,1 mg
Thiamin
1-3 tahun, anak-anak
1,2 mgd
0,28 mg
Riboflavin
14-18 tahun laki-laki
1, 2 mgd
2,6 mg
Niasin
14-18 tahun laki-laki
11,2 mgNE d
0,28 mg
Vitamin B5
51 tahun, wanita
1,2 mgd
0,28 mg
Folat
14-18 tahun laki-laki
310 µgDFEd
72
Vitamin B12
14-18 tahun laki-laki
12 µgd
2,8
Pantotenat
14-18 tahun laki-laki
3,9 mgd
0,9
Biotin
51 tahun, wanita
24 µgd
5,6
Kolin
51 tahun, laki-laki
366 mgd
85 mg
Sumber : IOM (1995)
Dalam pengembangan pangan darurat, selain 5 karakteristik yang kritis ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu kestabilan mikrobiologis, kestabilan kimia, kestabilan fisik, kestabilan gizi, komposisi bahan yang digunakan penerimaan prototipe (Zoumas et. al. 2002). Kestabilan mikrobiologis, teknik pengawetan, termasuk didalamnya kombinasi rendahnya nilai aw dan beberapa pengawet merupakan cara yang baik untuk mendapatkan EFP yang stabil secara mikrobiologis.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah kestabilan kimia dan ketahanan gizi. Degradasi zat gizi dapat dijaga dengan mengusahakan besarnya aw sebesar0,4. Mikroenskapsulasi zat gizi atau penggunaan antioksidan seperti asam askorbat, vitamin E dapat digunakan untuk mengurangi oksidasi lemak maupun hilangnya gizi. Kombinasi antara antioksidan dengan mikroenkapsulasi dapat digunakan, bergantung dengan komposisi bahan baku EFP.
Penggunaan EFP ialah untuk para pengungsi dengan berbagai latar belakang, oleh karena itu, sebaiknya dilakukan percobaan penerimaan prototipe. Berat EFP yang direkomendasikan untuk memberikan total kalori 2100 kkal adalah 450 gram. Jumlah ini setara dengan 9 bar, dengan tiap barnya mengandung 233 kkal. Pangan darurat tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan bayi 0-6 bulan, pada bayi usia 7-12 bulan pangan darurat yang dikombinasikan dengan air merupakan makanan komplementer (Zoumas et. al. 2002).
Dalam mengembangkan komposisi zat gizi pangan darurat ada beberapa asumsi yang digunakan (Zoumas et. al. 2002). Asumsi ini merupakan gambaran dengan kondisi lingkungan yang akan mendapatkan pangan darurat. Asumsi yang digunakan pada pengembangan komposisi Gizi pangan darurat ialah
a.      Penyediaan air minum merupakan prioritas utama dan pengkonsumsian pangan darurat bersamaan dengan air.
b.      Pengkonsumsian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Tidak digunakan sebagai produk terapi dan sangat tidak tepat untuk penderita malgizi yang cukup parah.
c.      Produk dapat dikonsumsi oleh semua kategori usia, kecuali bayi kurang dari 6 bulan, dan produk tidak digunakan sebagai bahan pengganti ASI.
d.      Produk harus menyediakan dan memenuhi atau melebihi kebutuhan gizi sesuai dengan rekomendasi IOM yang didesain untuk memenuhi kebutuhan hampir keseluruhan individu dari berbagai kalangan usia dan jenis kelamin.
e.      Kebutuhan gizi untuk wanita hamil dan menyusui tidak termasuk dalam perhitungan namun diasumsikan bahwa apabila mereka mengkonsumsi lebih dari kebutuhan energi per hari telah mencapai lebih dari 2100 kkal/hari
Untuk mencapai total kalori yang dibutuhkan (2100 kkal) maka dalam pengembangan pangan darurat komposisi zat gizi mikro penyumbang energi perlu diperhatikan. Zoumas et. al. (2002) menyatakan jumlah lemak yang direkomendasikan ialah 35-45% dari total kalori yang dibutuhkan dengan minimal 10% energi berasal dari lemak jenuh, energi, perbandingan antara asam linoleat dengan α–linoleat harus 5 : 1. Produk menjadi kurang stabil akibat oksidasi apabila jumlah lemak lebih dari 45% total enegi (Zoumas et. al. 2002). Kandungan protein dalam pangan darurat ialah 10-15% dari total energi. Jumlah maksimum 15% direkomendasikan untuk menghindari timbulnya gangguan pada ginjal dan rasa haus yang berlebihan (Briend dan Golden, 1993 dalam Zoumas et. al. 2002).
Zat gizi makro lain yang memberikan energi ialah karbohidrat yang terdiri dari monosakarida, disakarida, dan poliakarida. Sumber utama karbohidrat ialah pati ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk rasa, palatabilitas, stabilitas dan fungsi metabolik (FAO/WAO, 1998 dalam Zoumas et. al. 2002). Total energi yang disumbangkan oleh karbohidrat ialah 40-50% dengan 50% didalam berasal dari pati. Tidak lebih dari 25% karbohidrat sebagai monosakarida. Dalam 1000 kkal tidak terdapat kandungan laktosa lebih dari 17 gram, hal ini untuk menghindari lactose intolerance. Komposisi bahan yang akan digunakan harus mengandung nilai gizi tertentu. Pangan darurat akan didistribusikan pada berbagai etnis dan kultur. Karenanya alkohol maupun produk hewan selain susu sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan bahan makanan yang dikenal dapat menimbulkan alergi, sebaiknya dihindari. Menurut Zoumas et. al. (2002) ada beberapa komposisi bahan yang direkomendasikan, yaitu:
a.      Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras.
b.      Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau isolat protein; susu bubuk seperti kasein dan turunnya; campuran antara bahan dasar serealia dan protein harus memiliki skor asam amino ≥ 1,0.
c.      Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak bungak matahari.
d.      Gula: Glukosa, high fructose corn syrup, maltodekstrin.
e.      Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk.
Kebutuhan energi tiap selang usia pada Tabel 1 merupakan dasar penyusunan kebutuhan gizi per 50 gram yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi seluruh kalangan usia diatas 6 bulan. Total kebutuhan makro dan mikro zat gizi yang diharapkan pada pangan darurat dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai ini merupakan kelompok pembatas merupakan golongan usia yang memiliki kebutuhan yang paling tinggi.
Penyediaan pangan darurat yang bersifat ready to eat diperlukan pada kondisi dimana para korban bencana tidak dapat hidup normal untuk memenuhi kebutuhannya. Produk tersebut hendaknya tidak sekedar menjadi pengganjal perut, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjadi pengganti fungsi sarapan dan makan dalam arti mampu memberi energi dalam jumlah yang cukup.
Pangan darurat dapat dibuat dengan menggunakan bahan pangan lokal yang belum dimanfaatkan secara optimal selama ini. Ini merupakan sebuah peluang besar yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif makanan pokok yang berpotensi besar untuk dikembangkan menggantikan bahan makanan pokok sehari-hari masyarakat Indonesia, yaitu beras.
Oleh karena itu, dewasa ini mengingat seringnya terjadi bencana di negeri ini penelitian-penelitian mengenai formulasi pangan darurat padat gizi yang sesuai dengan situasi dan kondisi pengungsi adalah sangat penting dan diperlukan. Sehingga ke depannya masalah-masalah gizi yang diakibatkan oleh bencana dapat lebih bisa dihindari atau setidaknya upaya preventif untuk ini dapat dilakukan sejak dini.
Referensi:
IOM.1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Emergency Food Aid Rations. National Academy Press. Washington D. C.
Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. 2002. High- Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press. Washington D C.

You May Also Like

0 komentar